Muhamad Yasin
Muhamad Yasin
  • Jun 18, 2022
  • 7662

Etu Boawae, Tinju Adat Bergengsi di Nagekeo

Etu Boawae, Tinju Adat Bergengsi di Nagekeo
Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata, S.I.K, S.H diperlihatkan "Kepo" alat utama yang digunakan petinju untuk memukul dan menjatuhkan lawan

NAGEKEO - Kabupaten Nagekeo dikenal dengan begitu banyak suku dan adat istiadat-nya. Betapa tidak. Dari tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Nagekeo, setiap kecamatan-nya terdapat sekitar 5 bahkan sampai 7 suku yang ada di dalamnya. Bahkan ada kecamatan yang bisa memiliki lebih dari 50 suku (komunitas adat) besar maupun kecil, dengan nama dan rumah adat serta tuntunan ritualnya sendiri.

Setiap suku di kecamatan, masing-masing memiliki cara untuk menjalankan ritual adat ataupun kegiatan yang berkaitan dengan kebiasaan adat mereka.

Kendatipun berbeda suku, namun ada kesamaan tradisi yang menjadikan suku-suku di Nagekeo antara satu dan lainnya bisa berkumpul untuk melakukan upacara secara bersama-sama. Dari kesamaan tradisi itu maka terjalinlah silaturahmi dan rasa persaudaraan yang kuat di antara mereka dan komunitasnya.

Seperti halnya Etu di banyak tempat. Etu dari Suku Deu di Kampung Boawae juga tidak kalah serunya. Etu merupakan tradisi Tinju Adat di Kecamatan Boawae yang disebut-sebut sebagai satu dari sejumlah tinju adat bergensi yang ada di Nagekeo bahkan di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Ngada seperti So'a, Riung, Ngorabolo, dan lain-lain.

Makna Tradisi Etu.

Dirangkum indonesiasatu.co.id, Jumat (17/6/2022) sore, tinju adat Boawae atau Etu ini, erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan alam terutama dunia pertanian.

Etu diselenggarakan pada musim panas setelah panen. Dengan demikian, etu sering dimaknai sebagai ritual syukur atas hasil panen yang baru saja dipetik. Salah seorang tokoh adat setempat, yang tidak mau dituliskan namanya, menjelaskan bahwa etu berkaitan dengan syukuran atas hasil panen, sekaligus juga kesempatan untuk memasuki musim tanam berikut.

Sebagai sebuah syukuran, digelarlah tradisi etu yang pada intinya melibatkan semua orang yang memiliki keterampilan dan ketertarikan pada tradisi ini.

Dimulai sejak hari pertama yang disebut "hedha wewa" (terj. menggetarkan arena) hingga puncak pada malam kelima yang disebut "kobe dero" (terj. malam tandak) dan  "leza etu" (terj. hari tinju)  pada siang esoknya. Secara khusus pada kobe dero dan leza etu, semua orang diundang dari mana-mana.

Tak perlu dirisaukan soal makan. Biasanya saat itu, semua disiapkan oleh pemangku adat sebagai "moi bo'a" (terj.pemilik kampung) dan setiap tetamu dipanggil makan atau disebut "enga nalo" (terj. undang makan).

Ini bisa dilakukan justru karena latar syukuran atas hasil panen, yang dipersembahkan kepada leluhur dan juga dibagi-bagikan kepada khalayak siapa saja dalam bentuk sajian makanan.

Selain syukuran, Etu juga bermakna kesiapan memasuki musim tanam berikut. Ada semacam keyakinan, bahwa darah para petinju yang keluar mengalir jatuh ke tanah saat bertinju, bisa menyuburkan tanah sekaligus menjadi tanda harapan meningkatnya hasil panen di musim berikut.

"Kalau tidak ada yang berdarah, pertanda kemunduran hasil panen musim berikut, " ujar pemangku adat tersebut.

Tinju adat di Kampung Boawae, digelar pada setiap bulan Juni. Tanggal tidak bisa ditentukan pasti karena perhitungan waktu berkaitan dengan posisi bulan di bulan Juni. Hal ini penting karena ritual etu tidak hanya pada hari siang, namun juga malam hari.

Pagelaran Jumat, 17 Juni 2022 kemarin adalah pertama sejak 2018, ditambah dampak pandemi covid-19 tahun 2020 kemarin. Penonton pada puncak Etu di Kampung Boawae rata-rata di atas 5000 orang.

Penulis :
Bagikan :

Berita terkait

MENU